Penyelewengan Lidah

„Sesungguhnya seorang hamba benar-benar megucapkan kata-kata tanpa dipikirkan yang menyebabkan dia tergelincir ke dalam neraka yang jaraknya lebih jauh antara timur dan barat" (Muttafaq ‘alaih, dari Abu Hurairah)

Agar kita tidak termasuk orang yang rugi akibat perbuatan lidah kita, perlu kita kenali beberapa bentuk penyelewengan lidah.

Ghibah.

Ghibah adalah menceritakan seseorang tentang hal yang tidak disukainya.

Tentang hal ini Rasulullah bersabda: „Tahukah kalian apakah ghibah itu?" Para sahabat menjawab, Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu!" Lalu beliau berkata, „Yaitu kamu menceritakan saudaramu tentang hal yang tidak disukainya." Lalu sseorang bertanya, „Bagaimana pendapatmu bila apa yang aku ceritakan ada pada diri saudaraku?" Beliau menjawab, Bila apa yang kamu ceritakan itu ada pada diri saudaramu, maka kamu telah melakukan ghibah terhadapnya. Dan bila tidak, berarti kamu mengada-ada (dusta)." (Riwayat Muslim, dari Abu Hurairah)

Ghibah tidak terbatas hanya pada ucapan lidah, akan tetapi setiap gerakan, isyarat, ungkapan, sindiran, celaan, tulisan atau segala sesuatu yang dipahami sebagai hinaan, maka hal itu haram dan termasuk ghibah. Mendengarkan orang yang sedang ghibah dengan sikap kagum dan menyetujui apa yang dikatakannya hukumnya sama dengan ghibah.

Orang yang melakukan ghibah akan mengalami kerugian, karena pahala amal kebaikannya dia berikan kepada orang yang menjadi sasaran ghibahnya. Islam telah mengharamkan dan melarang ghibah karena dapat mengakibatkan putusnya ukhuwah, rusaknya kasih sayang, timbulnya permusuhan, tersebarnya aib, lahirnya kehinaan dan timbulnya keinginan untuk melakukannya. Agar manusia berhati-hati terhadap ghibah, maka Allah menyamakannya dengan orang yang memakan daging saudaranya yang sudah mati.

Allah berfirman: „Dan janganlah sebagian di antaramu malakukan ghibah terhadap sebagian yang lain, sukakah salah seorang di antaramu memakan daging saudaranya sendiri yang sudah mati? Maka pasti kamu tidak akan menyukainya." (QS. 49:12)

Ghibah yang diperbolehkan:

1. Orang yang dizholimi boleh menceritakan kepada hakim tentang kezholiman yang dilakukan terhadapnya atau penghianatannya

2. Meminta pertolongan untuk mengubah kemungkaran dengan menceritakan kepada orang yang mampu mengubah kemungkaran itu, agar menjadi kebenaran.

3. Bercerita kepada seorang mufti untuk meminta fatwa, misalnya seorang istri yang menceritakan suaminya yang bakhil, sehingga ia mendapat penjelasan apakah ia boleh mengambil harta suaminya.

4. Memperingatkan kaum mislimin dari kejahatan seseorang, apabila hal itu dikhawatirkan akan menimpa mereka.

5. Memanggil dengan panggilan yang sudah dikenal, tanpa bermaksud merendahkan.

6. Orang yang terang-terangan berbuat fasik, tetapi tidak diperbolehkan menceritakan aib yang tidak dilakukan secara terang-terangan.

Taubat dari ghibah.

Pertama, dengan cara menyesali perbuatan itu, bertekad untuk tidak melakukannya kembali dan beristighfar serta bertaubat dengan benar.

Kedua, bila ghibah telah terdengar oleh orang yang bersangkutan, maka dia harus mengemukakan alasan serta meminta maaf kepadanya. Jika belum terdengar, hendaklah memintakan ampun untuknya, mendo’akannya kepada Allah dan memuliakannya sebanding dengan kejelekan yang telah dilakukan terhadapnya.

Dusta.

Dusta adalah mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan. Dusta termasuk perbuatan haram yang menyebabkan pelakunya terjerumus ke dalam neraka. Rasulullah Saw. bersabda:

„Sesungguhnya dusta itu menuntun kepada kekejian dan kekejian itu menuntun ke dalam api neraka. Tidak henti-hentinya seseorang berdusta dan membiasakan diri dalam dusta, sehingga dicatat di sisi Allah sebagai pendusta."(Muttafaq ‘alaih).

Di antara siksa yang akan dialami oleh para pendusta, dia akan diadzab pada hari kiamat dalam bentuk ketakutan yang membuat badannya menggigil.

Dusta mempunyai beberapa pengaruh buruk, antara lain:

1. Terjerumusnya seseorang ke dalam salah satu tanda munafik.

„Ada empat hal, barang siapa yang memiliki semuanya, maka dia munafik sejati. Dan barangsiapa memiliki salah satu di antaranya, berarti dia memiliki salah satu jenis sifat munafik hingga dia meninggalkannya. Yaitu bila diamanati dia khianat, bila berkata dia dusta, bila berjanji dia mengingkari dan bila berselisih dia membongkar rahasia." (Muttafaq ‘alaih)

2. Tercabutnya barokah ketika berniaga.

„Penjual dan pembeli berada dalam satu pilihan, selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya jujur dan menjelaskan cacat barangnya, maka mereka akan diberkahi dalam jual belinya. Bila keduanyamenyembunyikan cacat barangnya dan disisipi dusta, maka dicabutlah barokah dalam jual beli yang dilakukannya." (Muttafaq ‘alaih)

3. Hilangnya kepercayaan

4. Pengaruh dusta terhadap anggota badan.

Rasulullah Saw. bersabda: „Sesungguhnya kejujuran itu menuntun kepada kebajikan, sedangkan dusta menuntun kepada kedurhakaan."

Ini hanya merupakan akibat yang terasa di dunia. Adapun di akhirat balasannya lebih dahsyat dan membinasakan. Di dalam shohih Bukhari dijelaskan tentang mimpi Nabi Saw., beliau bersabda:

"Kami mendatangi seorang laki-laki yang terlentang, sementara ada orang lain yang berdiri sambil memegang rantai besi. Tiba-tiba mendekati sebelah wajahnya, lalu mulutnya disabit sampai ke tengkuknya, hidungnya pun disabit pula sampai ke tengkuknya, kedua matanya disabit pula sampai ke tengkuknya. Kemudian dia pindah ke sisi lain, lalu dia pun melakukan hal yang sama. Belum selesai dia perbuat kepada sisi yang kedua, maka sisi yang pertama telah pulih kembali. Kemudian dia kembali lagi kepada yang pertama lagi, lalu berbuat seperti tadi pula." Lalu Rasulullah melanjutkan, „Aku berkata Mahasuci Allah, siapakah orang ini?" Seseorang menjawab, „Sesungguhnya dia adalah orang yang pergi dari rumahnya pada pagi hari sambil berkata dusta yang mencapai (puncaknya)."

Bentuk-bentuk dusta yang buruk:

1. Bersumpah palsu agar dagangannya laris.

2. Mengambil harta orang muslim dengan jalan sumpah palsu. „Barangsiapa bersumpah palsu untuk mengambil harta seorang muslim tanpa hak, maka Allah akan ditemuinya dalam keadaan marah." (Muttafaq ‘alaih)

3. Berdusta dalam hal mimpi

Bagaimana cara meninggalkan dusta? Dusta umumnya disebabkan oleh rasa takut terhadap hilangnya kepentingan yang dijanjikan oleh syaithan. Dengan keyakinan dan tawakkal kepada Allah akan mampu menghilangkan rasa takut tersebut. Selanjutnya melatih jiwa untuk membiasakan melakukan kewajiban-kewajiban dan hal-hal yang baik, sehingga akan menjadi tabiat, serta berusaha dengan sabar untuk menghilangkan kebiasaan berdusta. Allah berfirman: „Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan jalan-jalan kami kepada mereka." (QS. 29:69) „Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, maka Dia akan memberikan jalan keluar kepadanya." (QS. 65:2)

Kita diperbolehkan berdusta dalam hal-hal tertentu. Di antaranya ketika perang, atau mendamaikan manusia atau pembicaraan seorang suami kepada istrinya dan sebaliknya.

Namimah

Namimah adalah menyebarkan berita yang menimbulkan kekacauan antara manusia. Ini termasuk cara syaithan yang paling keji untuk memisahkan dua kelompok, merusak ukhuwah dan mahabbah. Namimah kadangkala disebabkan hasad dan kebencian atau keinginan untuk meraih ambisi. Namimah termasuk dosa besar yang diharamkan berdasarkan ijma’.

Allah berfirman: „Celakalah bagi setiap humazah dan lumazah." (Al-Humazah 1)

Humazah adalah orang-orang yang melakukan namimah. Namimah berarti menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat. Islam telah mengharamkan perbuatan menyakiti, apapun bentuknya.

Wallaahu a’lam bishshowab.

Awas! Bahaya Lidah, karya Abdullah bin Jaarullah