Bukan Sembarang Ibu

(Bagian 1)

„Mengapa engkau berani masuk ke rumahku tengah malam begini, wahai orang tua ?" Begitulah ujar seorang pemuda yang mempunyai sedikit jenggot di dagunya. Tanggannya memegang jubah orang tua tersebut. Orang tua tadi mendorong daun pintu dengan tombaknya hingga terkuak lebar lalu disandarkannya tombaknya dan senjata lain di balik pintu itu. Ia masuk tanpa minta izin terlebih dahulu dari seorang pamuda Rabi’ah namanya, pemilik rumah itu.

Tatkala Rabi'ah melihat laki-laki tua yang belum pernah dikenalinya itu memasuki rumahnya saat ibunya sedang berada sendiri di dalam, tak mampu lagi ia menahan amarahnya. Dengan segera ia hampiri dan ditariknya leher lelaki tersebut dengan sekuat tenaga. Andai lelaki tua itu tidak dengan cepat meronta-ronta mungkin ia mati tercekik.

Pergulatan ini berlangsung di malam gelap gulita. Masing-masing berusaha menolak lawannya agar keluar dari rumah.

Laki-laki tua tadi walau sudah berumur ternyata masih bertubuh tegap dan kuat. Pengalaman dan latihan ketentaraan, sekian kali terlibat dalam peperangan, membuat pergulatan menentang musuh adalah hal yang biasa baginya.

Mulanya pergulatan itu terjadi di depan pintu, tetapi tolak-menolak dan tarik-menarik di antara kedua orang itu menyebabkan keduanya terlempar ke luar rumah. Tetangga-tetangga terdekat terkejut dan mencoba
mengetahui sebab-sebab pertikaian.

Kegelapan malam membutakan semuanya. Tak terlihat apa pun. Yang jelas terdengar hanya suara Rabi'ah. Tak mampu mengendalikan, dengan lantang ia melontarkan kata-kata kemarahannya pada laki-laki tua yang menerobos rumahnya.

Para tetangga terus berdatangan, mereka bergegas ke kuar rumah dan berkumpul di tempat kegaduhan itu.
„Lihat ! Sungguh mengherankan ... seorang laki-laki menerobos masuk ke rumah Rabi'ah, sedangkan ibunya ada di dalam. Apa maksudnya masuk di tengah malam begini ! Demi Allah, seandainya bapak Rabi'ah ada, tentu akan ditikamnya dengan lembing hingga mati !"

„Jahat sekali, laki-laki tua itu tidak cukup menjarah rumah-rumah oralng lain, sekarang ia coba menjarah rumah seorang insan yang sedang pergi menunaikan panggilan agama, yang mengorbankan nyawanya dengan berjihad di jalan Allah ! Laki-laki itu telah mencoreng wajah Rabi'ah, seorang alim yang terhormat."

„Sungguh tak bermoral ! Sudah holangkah hati nurani manusia hingga tega menjarah rumah ulama. Memalukan ! Jika kabar penghinaan atau anak dan istrinya sampai pada bapak Rabi'ah di Khurasan, apa yang akan ia katakan nanti ?"

„Kasihan Abu Abdur Rahman pemilik rumah ini, ia sedang berjihad di medan perang. Sudah dua puluh tahun di sana dan hingga sekarang belum pulang. Pengorbanan yang telah dicurahkan begitu besar, pantaskah laki-laki tua ini menerobos masuk ke rumahnya ?"

Begitulah ramai terdengar para tetangga berkomentar, mengungkapkan ini hati mereka.

Orang-orang yang berkumpul di tempat itu makin bertambah banyak. Tangan mereka membawa obor, yang cahayanya kadang-kadang hampir padam karena masing-masing berdesakan untuk mendekat ke tempat kejadian. Kelap-kelip cahaya obor belum mampu mengusir kegelapan malam, sehingga belum jelas terlihat wajah kedua orang yang bersitegang itu. Beberapa diantara orang-orang yang datang berupaya meleraikan pertikaian, dan dengan cepat menangkap laki-laki tua agar tidak melepaskan diri.

Meskipun keduanya telah dapat dilerai, namun tuding-menuding masih tetap terjadi. Masing-masing berteriak menuduh lawannya mencoba menjarah rumahnya. Orang-orang yang menyaksikan sungguh heran dengan sikap orang tua itu karena begitu gigihnya membuat helah untuk melepaskan diri dari muka pengadilan ! Penjahat seperti ini patutkah dilepaskan begitu saja tanpa hukuman dan balasan atas perbuatan yang telah dilakukannya ?!

Cengkerama tangan orang-orang yang memegangnya semakin kuat karena kuatir laki-laki tua itu akan melepaskan diri di tengah-tengah kegelapan.

Ketika laki-laki tua itu merasakan bahwa sekuat apa pun meronta-ronta ia tidak akan dapat melepaskan diri, ia pun berteriak dengan kuatnya ...

(Bagian 2)

„Hai orang-orang ! Lepaskan aku. Orang muda ini yang hendak menodai istriku. Tak akan kubiarkan ia melepaslan diri. Lepaskan aku ... Demi Allah, andai lembing berada di tanganku kini, niscaya akan aku hancurkan pemuda ini. Supaya aku dapat menuntut bela kehormatan istriku. Lepaskan aku. Perempuan itu adalah istriku ! Aku bersumpah dengan nama Allah, tiada Tuhan yang disembah dengan sebenarnya melainkan Allah. Sesungguhnya kerajaan Bani Umaiyyah pun gentar dengan keberanian dan ketangkasanku menggunakan senjata ! Sungguh nilai-nilai moral telah lenyap. Manusia kini sudah sanggup berpihak pada yang salah.

Sesaat kemudian dia melemparkan pandangan ke arah orang ramai di sekelilingnya, seraya mencemoohkan mereka.

„Sebelumnya tidak pernah seperti ini. Di masa pemerintahan yang adil tidaklah manusia fanatik membela kaumnya. Hai ! Apakah gerangan yang terjadi ? Apakah semua orang tidak lagi seperti dulu ? Sesungguhnya aku lihat sinar wajah kalian telah berubah. Sifat-sifat kemuliaan telah lenyap, keimanan telah sirna ! Mengapa jadi begini ? Takutlah kamu semua kepada Allah. Wahai manusia ... !"

adapun Rabi’ah pada saat yang sama juga meronta-ronta untuk membebaskan diri dari tangan orang-orang yang memegangnya. Ia ingin tangannya sendirilah yang menangkap laki-laki tua biadab itu, untuk mengembalikan kehormatan diri yang telah tercoreng ...

Begitu dia rasakan dirinya tidak berdaya lagi untuk melaksanakan hasratnya, ia pun memekikkan kata-kata penuh amarah.

„Lepaskan aku. Demi Allah, aku lihat sendiri laki-laki itu, dia yang menerobos masuk ke rumahku dengan senjata lengkap di tangan ! Nah ! Inilah senjatanya. Dia menyandarkan senjata di balik pintu. Inilah bukti nyata bahwa laki-laki itu berniat buruk ! Lepaskan aku. Demi Allah, takkan kubiarkan laki-laki tua lepas begitu saja, sebelum kuhadapkan ke pengadilan agar ia dihukum dan menjadi pelajaran pula bagi orang lain."

Perasaan amarah Rabi’ah meluap-luap. Dengan garang ia berkata lagi.

„Ini sungguh sebuah tragedi. Belum pernah terjadi kejadian seperti ini di zaman Islam atau di zaman jahiliyyah sekalipun !"

Sambil meronta-ronta, mulutnya berulang-ulang mengeluarkan kata-kata : „Lepaskan aku. Biar aku sendiri menuntut balas ... ! Aneh, kulihat kalian seolah tak bertanggung jawab, malu untuk menegakkan kebenaran ..."

Di waktu laki-laki tua dan Rabi’ah maronta-ronta, air muka keduanya kelihatan merah padan penuh kemarahan. Orang-orang pun menjadi bingung, tidak tahu lagi apa yang harus mereka lakukan.

Di bawah sinar yang redup itu, tiba-tiba kelihatan Imam Malik bin Anas datang. Beliau adalah Syeikh Madina Al-Munawarah di masa itu. Orang ramai yang berada di situ segera mengenal bahwa yang datang adalah Imam Malik. Dengn spontan mereka berkata : „Imam Malik ... Imam Malik. Imam datang ! Buka jalan ! Berikan jalan supaya ia masuk dan menyaksikan sendiri perkara ini."

Kerumunan orang cepat menepi memberikan jalan. Imam Malik dengan tidak membuang waktu masuk ke tengah-tengah orang ramai itu, dan sampailah ia ke tempat kedua orang yang bertikai tadi. Tatkala keduanya mendengar bahwa yang datang adalah Imam Malik, keduanya langsung berhenti sejenak dari tuduh-menuduh. Masing-masing menaruh harapan di hati agar Imam Malik memihaknya dan menghukum pihak lawan.

Masing-masing berfikir untuk mencari hujah membela diri ... Dengan suara lantang Rabi’ah berkata : „Hai penjahat ! Bukankah kamu yang menerobos ke dalam rumahku ?" „Hai musuh Allah ! Kamulah yang telah masuk ke dalam rumah istriku !" jawab laki-laki tua itu dengan marahnya.

Orang-orang yang hadir tetap berdiam diri. Mereka menghormati Imam Malik yang sedang menghakimi kasus tersebut dengan teliti. Rabi’ah adalah guru Imam Malik. Namun begitu tidaklah pangkat guru menjadi penghalang baginya untuk meneliti masalah tersebut dengan seksama agar hukuman yang akan dijatuhkan nanti adil. Saat ini ia seorang hakim, yang harus menghukum dengan seadil-adilnya. Tidak ada pilih kasih, guru atau bukan. Prinsip keadilan tidak mengenal semua itu, yang bersalah pasti menerima hukumannya.

Dari cerita Rabi’ah, Imam Malik dapat memahami bahwa laki-laki tua itulah yang telah menerobos masuk ke dalam rumahnya. Iapun menoleh kepada lelaki tua tersebut seraya berkata : „Wahai orang tua ! Mengapa kamu masuk ke dalam rumah Rabi’ah ? Tidak adalah rumah lain untukmu menumpang berteduh ?"

Kata-kata Imam Malik sungguh mengejutkannya. Harapan agar Imam Malik mendukungnya telah hancur lebir. Lantas ia pun memekikkan kata-kata : „Sampai Engkau pun, wahai Syeikh yang mulia, menuduh aku dengan tuduhan yang sama ? Mengapa kamu juga menuduh aku, sedangkan rumah ini rumahku !"

Sampailah pada puncaknya, laki-laki tua tersebut akhirnya tidak lagi mampu menahan diri. Hatinya bersungut-sungut, sudah lupakah mereka bahwa rumah ini rumahnya ! Dia yang memiliki rumah ini sejak lebih seperempat abad yang lampau ... Akhirnya dengan suara lantang dan tegas ia berkata : „Rumah ini rumahku. Akulah yang bernama Al-Faruq. Al-Faruq wahai kawan-kawan semua, akulah tuan rumah ini. Al-Faruq wali bagi keluarga Al-Munkadir yang berasal dari cucu-cicit Quraisy !"

Tersekat oleh rasa haru, ia meneruskan lagi perkataannya :

„Wahai anak cucu Quraisy ! Tidak adakah salah seorang diantaramu yang mamu menjadi saksi yang benar ?"

„Al-Faruq ... Al-Faruq ... Al-Faruq siapa pula ini ? Apa pula hubungannya dengan rumah ini. Ini rumah Rabi’ah, dia telah mewarisinya dari kakek-neneknya dulu !"

Begitu diantara gumam orang ramai atas dakwaan orang tua tersebut. Mereka membantah hujah laki-laki tua itu, bahwa ia berasal dari keluasga Al-Munkadir dari keturunan anak-cucu Quraisy. Mereka tidak pernah mengenali rupanya semenjak berpuluh-puluh tahun dulu !

Masing-masing merasa sangsi. Ragu akan pembelaan laki-laki tua itu. Benarkah Al-Faruq ini yang tinggal di rumah ini pada seperempat abad lampau, atau mungkin memang inilah Al-Faruq sebenarnya yang telah kembali setelah menghilang sejak bertahun-tahun lamanya.

Di waktu laki-laki itu meninggikan suaranya dengan kata „Akulah Al-Faruq", ibu Rabi’ah yang berada di dalam rumah mendengar suara tersebut. Hatinya tersentak. Diam-diam ia coba mengingat kembali kata-kata laki-laki tua yang di kuar itu. Tiba-tiba harinya terasa pilu. Tanpa disadari ia telah berada di ambang pintu yang terbuka lebar dan matanya dengan seksama menatap orang ramai yang berkumpul di hadapan rumahnya. Melalui cahaya redup, terpandang olehnya rupa bentuk seorang laki-laki. Dia kenal siapa laki-laki itu. Ia sebera berteriak ...

(Bagian 3)

„Ya ! ... benarlah ia Al-Faruq. Sesungguhnya ialah Al-Faruq. Wahai Rabi’ah !"

Orang-orang terkejut, masing-masing heran. Mereka berpandangan satu sama lain dan bertanya : „Al-Faruq ... Al-Faruq ... Al-Faruq. Siapakah ini ?"

Wanita yang berdiri di muka pintu itu menyambung lagi kata-katanya : „Sebenarnya, inilah dia suamiku. Dialah ayahmu wahai Rabi’ah ! Rabi’ah ini anakmu, wahai Al-Faruq ! Di saat kau tinggal ke medan jihad dahulu, dia masih dalam kandunganku."

Dengan serius dan nada yang kuat ibu Rabi’ah menambahkan kata-kata lagi, „Wahai saudara-saudara semua ! Lepaskan dia. Dia Suamiku dan ayah Rabi’ah."

Semua hadirin berdiri kaku, darah di badan hampir terasa beku, tak mengalir di sekujur tubuh. Tidak mampu untuk berkata-kata, tidak ada lagi daya untuk bergerak. Yang jelas kelihatan, hanyalah bola mata yang berpindah-pindah, ke kiri dan kanan, mereka amat tercengang mendengar penjelasan ibu Rabi’ah tadi. Suasana menjadi sunyi senyap.

Dua orang yang bertikai tadi mulai menggerakkan langkah. Mereka berpandangan ... menerobos dan menguak orang yang berdesak-desakan, keduanya langsung berpelukan. Masing-masing membisu seribu bahasa, lidah kaku tidak dapat mengucap sepatah kata, hanya mulut yang bergerak komat-kamit sementara air mata berlinangan. Pergumulan kali ini bukanlah untuk mengalirkan darah seperti sengketa awal tadi. Malahan, limpahan air mata yang jatuh berderai menandakan kegembiraan untuk sebuah pertemuan yang tidak pernah diduga sebelumnya.

Mereka berpeluk-pelukan, dada keduanya bertaut erat. Dan kecupan demi kecupan, jelas terdengar ...

Wanita itu menghambur keluar rumah. Dia datang memeluk kedua laki-laki yang masih berpelukan itu dengan penuh kerinduan. Orang ramai terperangah. Mereka menarik nafas panjang dan memandang ketiga anak beranak itu dengan penuh rasa heran, tidak tahu lagi apa yang harus mereka lakukan !

Waktu berlalu begitu cepat. Terbayang kembali sejarah 28 tahun yang silam, ketika Al-Faruq tinggal sendiri di rumah itu. Saat mencari pasangan hidup, dia utamakan wanita yang mampu mendidik anak-anak untuk menjadi generasi yang berguna.

Beberapa orang yang masih hidup, masih ingat Al-Faruq. Di masa masih muda belia, ketika ingin mencari pasangan hidup ... dia tidak mengutamakan wanita yang berparas cantik atau keturunan yang mulia atau pun mempunyai harta yang banyak, melainkan wanita yang mengamalkan Islam yang utama baginya. Dia sering mengkaji hadits Rasulullah saw :

„Janganlah kamu mengawini wanita karena wajah yang cantik, munkgin wajah cantik itu membawa kehancuran. Jangan kamu kawini wanita karena hartanya, mungkin harta itu akan membawa kezaliman. Tetapi kawinilah wanita karena agamanya."

Tersadar orang-orang tua itu dari lamunan. Mereka pernah ingat wajah Al-Faruq di waktu muda belia dahulu dan kini kembali terbayang-bayang di mata mereka. Sungguh bahadia Allah karuniakan kepada Al-Faruq seorang wanita sholihah, banyak beramal sholeh dan berakhlak mulia serta mempunyai pemikiran yang cerdas terlebih lagi paras rupanya cantik.

Sedikit demi sedikit orang-orang mulai kembali pulang. Lamunan orang-orang tua mengenang riwayat hidup Al-Faruq di waktu muda dahulu terhenti begitu saja. Mereka semuanya pulang untuk tidak mengganggu keluarga ini melepskan rasa rindu di saat-saat yang berbahagia.

Ketiga anak beranak masuk ke rumah. Air mata bercucuran membasahi kedua pipi masing-masing. Mereka tidak tahu apakah yang harus mereka lakukan ... tidak tahu apa yang patut mereka katakan ... ! Dan memang semua itu tidak perlu lagi ... sedu sedan pun sudah tidak kedengaran lagi karena kerongkongan pun tersekat, yang tinggal hanya sisa-sisa air mata tanda gembira.

Namun sesaat kemudian, ibu merasakan pula kesedihan datang mengusik jiwa, maka berderailah air mata ... Segala-galanya hilang didalam sedu sedan tangisan.

Kenangan masa lampau berputar kembali. Terbayang hari-hari yang telah berlalu. Si ibu tidak putus-putus mengucapkan syukur ke hadirat Ilahi atas kepulangan suaminya dari perbatasan, usai menunaikan penggilan jihad di jalan Allah ...

Adapun sang bapak, juga penuh syukur kepada Allah yang telah mengkaruniakan kepadanya seorang anak lakilaki. Anak yang masih dalam kandungan sewaktu ia meninggalkan istrinya untuk pergi menuju ke medan perang. Kini anaknya sudah menjadi seorang pemuda, tentu sudah dapat memikul tanggung jawab di rumah sementara ia tiada di rumah. Lebih-lebih lagi anaknya amat layak untuk menggantikannya bejihad bila umurnya semakin tua dan bertambah uzur.

Si anak juga bersyukur karena awan mendung berarak berlalu. Kini awan mendung tidak akan menyelubungi hidup mereka buat selama-lamanya.

Begitulah ketetapan Allah akan perjalanan hidup. Peristiwa yang baru saja berlalu, membuat Rabi’ah makin merasakan kasih sayang Allah dan kebesaran Islam. Pertikaian antara anak dengan bapaknya tadi, secara tidak langsung telah memberinya suatu pelajaran yaitu bahwa seorang hakim tidak dapat menjatuhkan keputusan begitu saja, tanpa mendengarkan penjelasan dari pihak yang ketiga, selain meminta pula keterangan dari pihak yang berikai.

Betapapun tidak mudah pada awalnya, namun kini ia amat bersyukur atas kepulangan bapaknya dari medah jihad, pulang dengan kejayaan dan kemuliaan, usai berjihad di jalan Allah ...

Suasana sunyi sepi ... masing-masing masih asyik membuka lembaran lama hari-hari yang silam. Tiba-tiba kegundahan menyelinap mengusik jiwa ibu Rabi’ah. Suaminya telah pulang. Dahulu saat suaminya hendak pergi ke medan perang, ia meninggalkan sejumlah uang. Sekarang ia telah kembali, tentu ia akan bertanya mengenai uang tersebut, sedangkan uang tersebut telah habis dibelanjakan hingga tak bersisa satu dirham pun !

(Bagian 4)

Air matanya hendak merebak lagi saat terkenang peristiwa-peristiwa yang lampau. Dengan cepat anaknya bertanya :

"Apakah ibu hendak menangis lagi ?"

Ia menyambung kata-katanya :

"Sesungguhnya selama 27 tahun aku di sampingmu, selama itu ibu mendidikku dan tak pernah kulihat setitikpun air matamu tumpah, wajahmu tidak pernah muram, malah senyum manis senantiasa terukir di bibirmu."

"Hari ini aku tak berdaya lagi wahai anakku. Tidak mampu lagi untuk menguasai perasaanku. Setelah kewajibanku tertunai, rasanya kekuatanku habis sudah. Dulu aku berlaku sebagai seorang prajurit. Prajurit yang meniupkan semangat dan azam kepada bapakmu agar ia keluar berjihad dan terus berjihad. Dengan pertolongan Allah aku berhasil menjaga hasratku ini. Sekarang terlaksanalah sudah segala hasratku ...!"

Si ibu tenggelam dalam sedu sedannya. Mukanya dibenamkan ke dada suaminya. Air mata bercucuran membasahi dada sang suami. Suaminya memeluknya dengan penuh rasa kasih sayang.

Rabi’ah tertegun sejenak. Matanya bergerak-gerak berusaha menahan airmata yang hendak mengalir. Dia termangu-mangu di hadapan ibu-bapaknya, tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Tidak tahu apa yang harus dikatakan dan kapan haru memulai kata-katanya. Lidahnya terasa kaku, kelu dan membisu. Akhirnya ia pun turut mengalirkan airmata.

Kini ketiga-tiganya mengalirkan air mata. Meski tidak tahu persis untuk apa dan mengapa mereka menangis. Tidak tahu apa yang akan dilakukan selain mencucurkan air mata. Mungkin tangisan ini dapat merekakan gejolak perasaan mereka.

Si anak menanti dengan sabar, sampai tiba saat yang telah untuk menyabarkan ibu bapaknya seperti semula. Dia coba meredakan suasana dengan meminta ibunya untuk pergi tidur. Semoga selepas tidur nanti, saat fajar subuh memancarkan cahayanya, perasaan berkecamuk kembali tenang dan damai.

Tanpa sepatah kata pun, masing-masing menuju ke tempat tidur.

Dengan bantal sebagai alas kepala masing-masing mengira hanya dia yang belum memejamkan mata. Sepatutnya memang tak dapat tidur, karena masih banyak lagi perkara yang perlu diselesaikan sendiri, tanpa campur tangan orang lain. Ketiga-tiganya ingin mencari jawaban dari masalah-masalah yang selama ini menari-nari di fikiran mereka, agar tercapai titik penyelesaian.

Fikiran ibu kembali berputar, mengingat kembali suatu masalah yang telah berlalu. Isak tangisnya telah berhenti berganti dengan sekabaran. Terlintas dalam benaknya, dulu sebelum suaminya berangkat ke medan perang, ia meninggalkan uang sejumlah 30.000 dinar. Mungkin esok hari suaminya akan menanyakan merihal uang tersebut. Bagaimana akan dijawabnya, jika suaminya meminta kembali uang tersebut ? Apakah akan dikatakan bahwa uangnya dicuri orang ? Ya Allah lindungilah, dia belum pernah berbohong ! Atau apakah akan diberitahu bahwa uang itu dijadikan modal perniagaan, tetapi akhirnya habis karena merugi ? Ya Allah lindungilah hambamu ini kare berkata yang tidak benar.

Apakah hendak dikatakan bahwa uang tersebut digunakan untuk keperluan hidup sehari-hari bagi dirinya dan anaknya itu sampai anaknya meningkat dewasa ? Tidak mungkin uang yang begitu banyak habis dibelanjakan untuk dua anak beranak saja. Lain kalau si bu itu seorang pemboros, yang suka hidup mewah. Kalaupun demikian, tentu suaminya akan bertanya jika disana tiada satu pun barang mewah yang tampak.

Sebenarnya, uang yang sangat banyak itu memang telah habis untuk biaya berguru anaknya. Dihadiahkan uang tersebut sebagai tanda penghormatan terhadap guru-guru yang telah mendidik dan memberi pelajaran anaknya. Jumlah uang yang begitu banyak diberikan dengan harapan agar-guru-guru tersebut dapat mencurahkan seluruh waktu dan perhatian bagi anaknya.

Sudah tentu suaminya tidak akan percaya sama sekali penjelasan ini, uang habis dibelanjakan hanya untuk biaya menuntut ilmu sungguh melewati batas kelaziman. Belum pernah seorang ibu hanya karena memberi pelajaran kepada anaknya terpaksa menghabiskan uang begitu banyak.

Apa yang harus ia lakukan ? Bagaimana ia dapat menjawab nanti bila suaminya menanyakan tentang uang tersebut ? Seribu macam persoalan dan jawaban silih berganti melintas di fikirannya. Terkadang muncul sebuah jawaban, namun ia rasakan jawaban tersebut tidak cukup memuaskan maka ia melupakannya begitu saja.

Begitulah keadannya sepanjang malam. Sungguh mengenaskan, tidak jua mendapat keputusan. Tidak ada buah fikiran yang sesuai yang dapat dijadikan jawahan. Hingga fajar menyingsing dan mu’adzin di masjid mulai mengumandangkan "Allahu Akbar", ia masih belum mendapatkan jawaban !

(bersambung)

Sumber :
"Ummun ... Laa Kal Ummahaati" karya Muhammad Hassan