Edisi lain | Artikel November 1997


Bukan Sembarang Ibu

(Bagian 3)

„Ya ! ... benarlah ia Al-Faruq. Sesungguhnya ialah Al-Faruq. Wahai Rabi’ah !"

Orang-orang terkejut, masing-masing heran. Mereka berpandangan satu sama lain dan bertanya : „Al-Faruq ... Al-Faruq ... Al-Faruq. Siapakah ini ?"

Wanita yang berdiri di muka pintu itu menyambung lagi kata-katanya : „Sebenarnya, inilah dia suamiku. Dialah ayahmu wahai Rabi’ah ! Rabi’ah ini anakmu, wahai Al-Faruq ! Di saat kau tinggal ke medan jihad dahulu, dia masih dalam kandunganku."

Dengan serius dan nada yang kuat ibu Rabi’ah menambahkan kata-kata lagi, „Wahai saudara-saudara semua ! Lepaskan dia. Dia Suamiku dan ayah Rabi’ah."

Semua hadirin berdiri kaku, darah di badan hampir terasa beku, tak mengalir di sekujur tubuh. Tidak mampu untuk berkata-kata, tidak ada lagi daya untuk bergerak. Yang jelas kelihatan, hanyalah bola mata yang berpindah-pindah, ke kiri dan kanan, mereka amat tercengang mendengar penjelasan ibu Rabi’ah tadi. Suasana menjadi sunyi senyap.

Dua orang yang bertikai tadi mulai menggerakkan langkah. Mereka berpandangan ... menerobos dan menguak orang yang berdesak-desakan, keduanya langsung berpelukan. Masing-masing membisu seribu bahasa, lidah kaku tidak dapat mengucap sepatah kata, hanya mulut yang bergerak komat-kamit sementara air mata berlinangan. Pergumulan kali ini bukanlah untuk mengalirkan darah seperti sengketa awal tadi. Malahan, limpahan air mata yang jatuh berderai menandakan kegembiraan untuk sebuah pertemuan yang tidak pernah diduga sebelumnya.

Mereka berpeluk-pelukan, dada keduanya bertaut erat. Dan kecupan demi kecupan, jelas terdengar ...

Wanita itu menghambur keluar rumah. Dia datang memeluk kedua laki-laki yang masih berpelukan itu dengan penuh kerinduan. Orang ramai terperangah. Mereka menarik nafas panjang dan memandang ketiga anak beranak itu dengan penuh rasa heran, tidak tahu lagi apa yang harus mereka lakukan !

Waktu berlalu begitu cepat. Terbayang kembali sejarah 28 tahun yang silam, ketika Al-Faruq tinggal sendiri di rumah itu. Saat mencari pasangan hidup, dia utamakan wanita yang mampu mendidik anak-anak untuk menjadi generasi yang berguna.

Beberapa orang yang masih hidup, masih ingat Al-Faruq. Di masa masih muda belia, ketika ingin mencari pasangan hidup ... dia tidak mengutamakan wanita yang berparas cantik atau keturunan yang mulia atau pun mempunyai harta yang banyak, melainkan wanita yang mengamalkan Islam yang utama baginya. Dia sering mengkaji hadits Rasulullah saw :

„Janganlah kamu mengawini wanita karena wajah yang cantik, munkgin wajah cantik itu membawa kehancuran. Jangan kamu kawini wanita karena hartanya, mungkin harta itu akan membawa kezaliman. Tetapi kawinilah wanita karena agamanya."

Tersadar orang-orang tua itu dari lamunan. Mereka pernah ingat wajah Al-Faruq di waktu muda belia dahulu dan kini kembali terbayang-bayang di mata mereka. Sungguh bahadia Allah karuniakan kepada Al-Faruq seorang wanita sholihah, banyak beramal sholeh dan berakhlak mulia serta mempunyai pemikiran yang cerdas terlebih lagi paras rupanya cantik.

Sedikit demi sedikit orang-orang mulai kembali pulang. Lamunan orang-orang tua mengenang riwayat hidup Al-Faruq di waktu muda dahulu terhenti begitu saja. Mereka semuanya pulang untuk tidak mengganggu keluarga ini melepskan rasa rindu di saat-saat yang berbahagia.

Ketiga anak beranak masuk ke rumah. Air mata bercucuran membasahi kedua pipi masing-masing. Mereka tidak tahu apakah yang harus mereka lakukan ... tidak tahu apa yang patut mereka katakan ... ! Dan memang semua itu tidak perlu lagi ... sedu sedan pun sudah tidak kedengaran lagi karena kerongkongan pun tersekat, yang tinggal hanya sisa-sisa air mata tanda gembira.

Namun sesaat kemudian, ibu merasakan pula kesedihan datang mengusik jiwa, maka berderailah air mata ... Segala-galanya hilang didalam sedu sedan tangisan.

Kenangan masa lampau berputar kembali. Terbayang hari-hari yang telah berlalu. Si ibu tidak putus-putus mengucapkan syukur ke hadirat Ilahi atas kepulangan suaminya dari perbatasan, usai menunaikan penggilan jihad di jalan Allah ...

Adapun sang bapak, juga penuh syukur kepada Allah yang telah mengkaruniakan kepadanya seorang anak lakilaki. Anak yang masih dalam kandungan sewaktu ia meninggalkan istrinya untuk pergi menuju ke medan perang. Kini anaknya sudah menjadi seorang pemuda, tentu sudah dapat memikul tanggung jawab di rumah sementara ia tiada di rumah. Lebih-lebih lagi anaknya amat layak untuk menggantikannya bejihad bila umurnya semakin tua dan bertambah uzur.

Si anak juga bersyukur karena awan mendung berarak berlalu. Kini awan mendung tidak akan menyelubungi hidup mereka buat selama-lamanya.

Begitulah ketetapan Allah akan perjalanan hidup. Peristiwa yang baru saja berlalu, membuat Rabi’ah makin merasakan kasih sayang Allah dan kebesaran Islam. Pertikaian antara anak dengan bapaknya tadi, secara tidak langsung telah memberinya suatu pelajaran yaitu bahwa seorang hakim tidak dapat menjatuhkan keputusan begitu saja, tanpa mendengarkan penjelasan dari pihak yang ketiga, selain meminta pula keterangan dari pihak yang berikai.

Betapapun tidak mudah pada awalnya, namun kini ia amat bersyukur atas kepulangan bapaknya dari medah jihad, pulang dengan kejayaan dan kemuliaan, usai berjihad di jalan Allah ...

Suasana sunyi sepi ... masing-masing masih asyik membuka lembaran lama hari-hari yang silam. Tiba-tiba kegundahan menyelinap mengusik jiwa ibu Rabi’ah. Suaminya telah pulang. Dahulu saat suaminya hendak pergi ke medan perang, ia meninggalkan sejumlah uang. Sekarang ia telah kembali, tentu ia akan bertanya mengenai uang tersebut, sedangkan uang tersebut telah habis dibelanjakan hingga tak bersisa satu dirham pun !

(bersambung)

Sumber :
"Ummun ... Laa Kal Ummahaati" karya Muhammad Hassan